I. PENDAHULUAN
Berbagai perspektif teori hubungan internasional selama abad ini memperlihatkan pengaruh Perang Dunia I, Perang Dunia II dan Perang Dingin. Perspektif itu lahir dalam konteksnya sendiri sehingga dapat dilihat bahwa ada persepektif yang sudah ketinggalan tapi juga ada perspektif yang masih bisa hidup dalam era pasca Perang Dingin ini.
Makalah ini bertujuan untuk menjelajah berbagai perspektif yang muncul dalam hubungan internasional. Sedikitnya ada enam perspektif seperti diungkapkan Charles Kegley yang akan dikaji yakni Current History, Idealisme Politik, Realisme Politik, Aliran perilaku (behavioralism), Neorealisme dan Institusionalisme neoliberal
I. CURRENT HISTORY
Hubungan internasional sebagai ladang penyelidikan intelektual sebagian besar dipengaruhi fenomena abad ke-20. Akar-akar sejarah disiplin ini terletak pada sejarah diplomatik.
Sejarah diplomatik merupakan salah satu pendekatan untuk memahami HI yang berfokus pada deskripsi kejadian-kejadian sejarah, bukan eksplanasi teori. Untuk kemudahan, aliran ini disebut pendekatan Current History terhadap studi HI.
Lingkungan pada awal abad ketika lahirnya studi HI dimulai dengan optimisme. Banyak orang yakin bahwa perdamaian dan kemakmuran akan hadir. Hukum internasional menguat dan konferensi perdamaian Den Haag 1899 dan 1907 dipicu oleh harapan bahwa persenjataan bisa diawasi dan Eropa takkan mengalami perang lagi.
Namun harapan itu hancur karena Perang Dunia I yang pecah mulai 1914. Pengalaman menyakitkan ini melahirkan pencarian pengetahuan mengenai sebab-sebab perang, misalnya, dalam konteks teori. Oleh karena itulah para pengambil kebijakan dan pakar memerlukan sebuah teori untuk meramalkan pecahnya perang dan bagaimana mencegahnya.
II. IDEALISME POLITIK
Perang Dunia I membuka pintu terhadap revolusi paradigma dalam studi HI. Sejumlah perspektif HI berusaha menarik perhatian para peminatnya pada periode ini. Meskipun demikian aliran current history masih memiliki pengikutnya.
Secara kolektif kelompok idealis memiliki keyakinan yang sama seperti :
1. Yakin bahwa fitrah manusia adalah “baik”. Oleh karena itulah manusia mampu saling membantu dan bekerja sama.
2. Perhatian fundamental manusia terhadap perang memungkinkan terjadinya kemajuan. Pendapat ini seperti keyakinan kaum Pencerahan tentang kemungkinan perbaikan peradaban.
3. Perilaku buruk manusia adalah produk, bukan manusianya yang jahat tetapi lembaganya yang buruk dan pengaturan struktural yang memotivasi orang untuk bertindak egois dan merusak yang lainnya, termasuk perang.
4. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah dengan menghapuskan lembaga yang mendorongnya.
5. Perang adalah masalah internasional yang memerlukan usaha kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional saja.
6. Masyarakat internasional harys mengakui usaha untuk menghapus
institusi yang mendorong terjadinya perang.
III. REALISME POLITIK
Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.
Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme. Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja sama.
IV.PENDEKATAN PERILAKU (THE BEHAVIORAL APPROACH)
Aliran realisme klasik menyiapkan secara serius pemikiran teoritis mengenai kondisi global dan kaitan empiris. Namun demikian ketidakpuasan karena kurangnya data, reaksi tandingan, kesulitan dalam peristilahan dan metode, mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan awal 1970-an.
Disebabkan pendekatan perilaku terhadap studi hubungan internasional maka banyak mempengaruhi pendekatan terhadap teori dan logika serta metode penelitian.
Aliran Perilaku dalam hubungan internasional bagian dari gerakan besar yang menyebar dalam ilmu-ilmu sosial secara umum. Sering disebut pendekatan ilmiah (scientific approach), behavioralisme menantang model-model yang ada dalam mempelajari perilaku manusia dan basis teori-teorinya yang disebut
tradisionalisme.
Perdebatan panas sering mewarnai para ilmuwan mengenai prinsip-prinsip dan prosedur yang paling tepat dalam meneliti hasil-hasil fenomena internasional. Debat itu berpusat pada makan teori dan syarat-syarat teori yang memadai dan metode terbaik yang tepat untuk pengujian teori.
Sebagian besar perdebatan berlangsung antara penganut perilaku dan kubu tradisionalis sangat hangat. Memang benar “berteori mengenai teori” dan berteori tentang hubungan internasional sering bercirikan perdebatan. Literatur pada periode ini diwarnai dengan isu-isu metodologis, bukannya masalah substantif.
Asumsi yang sama dan preskripsi analitik merupakan ini dari gerakan perilaku. Aliran Perilaku mengusahakan generalisasi seperti hukum mengenai fenomena internasional. Yakni, pernyataan mengenai pola-pola dan keteraturan melintasi waktu dan tempat.
Ilmu, kata kaum penganut perilaku, adalah aktivitas membuat generalisasi. Oleh sebab itu tujuan penelitian ilmiah adalah menemukan pola-pola ajeg perilaku antar negara dan penyebab-penyebabnya.
Bertolak dari perspektif ini sebuah teori hubungan internasional harus berisi pernyataan hubungan antar dua atau lebih variabel, khusus untuk kondisi dimana hubungan berlangsung dan menjelaskan mengapa hubungan itu bisa berlangsung.
Untuk menemukan teori-teori itu, penganut perilaku condong kepada analisa komparatif lintas nasional tak hanya sekedar studi kasus negara tertentu dalam waktu tertentu seperti terlihat dalam pendekatan Current History.
Kubu perilaku juga menekankan perlunya mengumpulkan data mengenai karakteristik negara dan bagaiman berhubungan satu sama lain. Oleh sebab itulah gerakan perilaku ini diwarani dengan studi kuantitatif hubungan internasional.
V. PENDEKATAN NEOREALISME STRUKTURAL
(THE NEOREALIST STRUCTURAL APPROACH)
Pendekatan realisme politik masih penting sebagai perspektif teoritis yang mendasari analisa masalah keamanan nasional. Namun juga mendapat popularitasnya setelah terbentuk dalam teori umum politik internasional yang disebut neorealisme atau realisme struktural.
Neorealisme membedakan antara eksplanasi peristiwa politik internasional di tingkat nasional seperti negara yang diketahui sebagai politik luar negeri dengan eksplanasi peristiwa di tingkat sistem internasional yang disebut sistem atau teori sistem.
Apa yang neorealis inginkan adalah “mensistemasikan realisme politik kedalam teoris sistem yang kuat, deduktif dari politik internasional.”
Seperti dikemukakan Kenneth M Waltz dalam bukunya yang berpengaruh Theory of International Politics (1979) dan dianggap sebagai karya utama pemikiran neorealis, “struktur internasional muncul dari intreraksi negara dan kemudian hambatan yang dihadapi dalam mengambil tindakan tertentu saat terdorong ke negara lain.”
Seperti dalam realisme klasik, anarki dan ketiadaaan lembaga sentral (sebuah pemerintah) menjadi ciri struktur sistem. Negara masih menjadi aktor utama. Mereka bertindak sesuai dengan prinsip menolong diri sendiri dan semuanya mengusahakan agar bisa bertahan.
Oleh karena itu menurut realisme struktural, negara tak berbeda dalam tugas-tugasnya yang dihadapinya. Yang berbeda adalah kapabilitasnya. Kapabilitas mendefinisikan posisi negara dalam sistem dan distribusi kapabilitas mendefinisikan sistem struktur.
Demikian pula perubahan dalam distribusi kapabilitas merangsang perubahan dalam struktur sistem seperti dari konfigurasi kekuatan multipolar ke bipolar atau dari bipolar menuju unipolar.
Kekuatan juga masih menjadi konsep sentral realisme struktural. Namun demikian, masalah merebut kekuasaan tak lagi dianggap tujuan seperti dalam realisme klasik. Hal itu juga tidak dilihat sebagai karakter manusia.
Seperti dijelaskan Waltz, “negara berusaha dalam cara yang lebih kurang masuk akal menggunakan cara yang ada untuk mencapai tujuan yang terjangkau”.
Cara-cara itu digolongkan dalam dua kategori yakni usaha internal seperti meningkatkan kemampuan ekonomi, kekuatan militer, mengembangkan strategi yang lebih pintar serta usaha eksternal seperti memperkuat dan memperluas aliansi atau memperlemah dan membubarkan aliansi musuhnya.
Keseimbangan kekuatan (balance of power) muncul lebih kurang secara otomatis dari instink untuk bertahan. “Kencenderungan keseimbangan kekuatan untuk membentuk apakah sejumlah negara semua negara secara sadar bertujuan membentuk dan mempertahankan keseimbangan atau apakah sejumlah atau beberapa negara bertujuan dominasi universal,” tulis Waltz (1979).
Sekali sistem internasional terbentuk, sistem itu “akan menjadi kekuatan yang dimana unit-unit didalamnya tak mampu mengontrol, sistem itu membatasi perilaku mereka dan menempatkan mereka antara niat mereka dan hasil dari tindakan mereka.”
VI. INSTITUSIONALISME NEOLIBERAL
Seperti halnya neorealis, institusionalis neoliberal menggunakan teori struktural politik internasional. Mereka terutama berkonsentrasi kepada sistem internasional, bukannya karakteristik unit atau sub unit didalamnya.
Namun mereka memberi lebih banyak perhatian cara lembaga internasional dan aktor non negara lainnya mempromosikan kerja sama internasional.
Daripada hanya menggambarkan dunia dimana negara-negara di dalamnya enggan bekerja sama karena masing-masing merasa tidak aman dan terancam oleh yang lainnya, institusionalis neoliberal membuktikan syarat-syarat kerja sama yang mungkin dihasilkan dari kepentingan yang tumpang tindih diantara entitas politik yang berdaulat.
Sebagai tambahan dari idealisme klasik, akar intelektual pendekatan yang biasa disebut pula neoliberalisme dapat dilacak dari studi integrasi regional yang mulai merebak pada tahun 1950-an dan tahun 1960-an saat para pakar berusaha memahami proses dimana unifikasi politik negara bedaulat mungkin bisa dicapai.
Usaha-usaha untuk menciptakan lembaga baru di Eropa Barat mendapat perhatian besar bersamaan dengan meluasnya aliran transaksi, mendorong Eropa mengorbankan sebagian kemerdekaan kedaulatan dalam upaya menciptakan unit politik baru yang terpisah. Prestasi Eropa ini memberikan inspirasi bagi kawasan lainnya.
Untuk mengkaji konsep dalam pemikiran neoliberalis, perlu kita lihat tiga perspektif yang berdekatan dengannya.
1. Interdependensi yang kompleks (Complex Interdependence) sebagai sebuah Pandangan Dunia
Sebagai sebuah perspektif analitik yang eksplisit, inderdendensi kompleks (complex interdependence) muncul pada tahun 1970-an untuk menantang asumsi-asumsi kunci kerangka teoritis saingannya, khususnya realisme klasik.
Pertama, menantang asumsi yang ada bahwa negara bangsa hanya satu-satunya aktor penting dalam politik dunia. Lalu mereka memperlakukan aktor lain seperti perusahaan multinasional dan bank-bank transnasional sebagai “penting bukan karena hanya kegiatannya dalam mengejar kepentingan mereka, namun juga karena
mereka bertindak sabuk transmisi sehingga membuat kebijakan pemerintah di sejumlah negara lebih sensitif terhadap negara lain (Keohane dan Nye, 1988).
Dalam pengertian ini, interdependensi kompleks sebagai sebuah “holistik”, konsepsi sistem yang melukiskan politik dunia sebagai jumlah interaksi banyak bagian dalam “masyarakat global” (Holsti, 1988).
Kedua, intedependen kompleks mempertanyakan apakah isu keamanan nasional mendominasi agenda keputusan negara bangsa. Berdasarkan kondisi interdependensi, agenda politik luar negeri menjadi “semakin luas dan beragam” karena jangkauan luas kebijakan “pemerintah”, meskipun sebelumnya dipandang sebagai kebijakan domestik.
Ketiga, perspektif yang dipertikaikan dalam konsep populer bahwa kekuatan militer satu-satunya alat dominan dalam menggunakan pengaruh di politik internasioal, khsusnya diantara negara industri dan masyarakat demokratis di Eropa dan Amerika Utara.
2. Rejim-rejim internasional
Meskipun sistem internasional masih memiliki karakter anarkis, sifatnya dapat lebih dikonseptualisasikan sebagai anarki yang tertib dan sistem secara keseluruhan sebagai “masyarakat anarkis” karena kerja sama, bukan konflik, sering hasil yang dapat diamati
dalam hubungan antar negara.
Karena realitas ini, masalah baru muncul : bagaimana prosedur dan aturan yang terlembagakan untuk manajemen kolektif masalah kebijakan global dapat dibentuk dan dipertahankan ? Kepentingan dalam masalah itu muncul dari dua tujuan motivasi kebanyakan analis neoliberal. Pertama, “keinginan memahami seberapa jauh hambatan bersama mempengaruhi perilaku negara”. Kedua, kepentingan dalam merancang strategi untuk menciptakan “tatanan dunia” yang lebih tertib.
Menuru sebuah definisi, rejim adalah sistem terlembaga kerja sama dalam isu-isu tertentu. Krasner (1982) menjelaskan, “ini adalah pemasukan perilaku dengan prinsip dan norma yang membedakan aktivitas rejim yang diperintah dalam sistem internasional dari aktivitas yang lebih konvensional oleh kepentingan sempit yang
terukur”. Oleh karena itu esensi dari sebuah rejim adalah terdiri dari “sistem aturan perilaku internasional”.
Sistem moneter global dan sistem perdagangan yang tercipta setelah Perang Dunia II merupakan ekspresi jelas dari rejim-rejim internasional.
3. Teori Stabilitas Hegemoni
Seperti ditekankan oleh perspektif institusionalis neoliberal, aktor-aktor non negara memainkan peran penting dalam kerja sama internasional yang menjadi karakter Tatanan Ekonomi Internasional Liberal.
Perspektif ini juga mengajak memperhatikan peran menentukan kekuatan besar Amerika Serikat dalam mempromosikan stabilitas dan operasi efektif rejim moneter dan perdagangan pasca Perang Dunia II.
Masalah yang muncul adalah: Apa pengaruh menurunnya kekuasaan AS seperti dipersepsikan banyak pihak tehadap lembaga rancangannya untuk mendorong kerja sama internasional ? Apakah menurunnya pengaruh itu bisa menjelaskan ketidaktertiban tatanan ekonomi global yang muncul sejak 1970-an ? Masalah-masalah inilah yang jadi perhatian khusus bagi analis yang tertarik pada stabilitas hegemoni.
Teoritisi stabilitas hegemoni membedakan definisi hegemoni dengan menekankan kapasitas kekuatan militer untuk mengendalikan tatanan dunia dan kapasitas kekuatan ekonomi untuk menentukan dan mendikte aturan yang mengendalikan perdagangan, keuangan dan investasi internasional.
Dalam konteks institusionalisme neoliberal, teori stabilitas hegemoni didedikasikan terutama pada tugas menjelaskan bukan perang dan damai namun menerangkan mengapa negara-negara penting (hegemonik) di hirarki tertinggi (seperti AS setelah Perang Dunia II) termotivasi mempromosikan rejim internasional yang menguntungkan
yang tak hanya menguntungkan diri tapi juga negara lain.
Untuk memahami perubahan dunia sekarang dan membuat prognosis yang masuk akal tentang masa depan, kita pertama-tama perlu melengkapi dengan pengetahuan secukupnya dan alat-alat konseptual, interpretasi yang bertentangan mengenai cara-cara melihat peta politik dunia dan masalah dari asumsi-asumsi cara pandang dunia ini.
Seperti kita bahas sebelumnya, ada sejumlah alternatif yang kadang-kadang saling melengkapi dalam mengorganisasikan perspektif teoritis tentang hubungan internasional.
Alasannya jelas. Masalah hubungan internasional, problem global adalah salah satu bagian yang kompleks dan berat yang tak dapat direduksi menjadi penilaian yang tunggal dan sederhana.
0 komentar:
Posting Komentar