Pages

Selasa, 26 Oktober 2010

Revolusi PSSI, Mungkinkah?

Kata-kata revolusi memang selalu menarik untuk dicermati. Terlebih ditengah gelisah, amarah dan kesebalan terhadap situasi revolusi menjadi kata yang sexy. Seruan revolusi tidak hanya digemakan bagi kekuasaan negara tapi juga dalam dunia sepakbola. Melihat kekacauan organissai dan mandeknya organisasi PSSI banyak kalangan yang tergiur mengagendakan revolusi sebagai harga mati untuk perubahan. Perbaikan lewat proses transisi dirasa mustahil untuk membenahi masalah di PSSI yang dinilai sudah karatan. Perbaikan hanya bisa diraih lewat sebuah revolusi.

Banyak yang menilai tanda-tanda ke arah revolusi sudah terlihat dan tampak. Satu indicator yang sering digunakan adalah ketidakpercayaan rakyat (penggila sepakbola) terhadap prioses organisasi yang terjadi di tubuh PSSI. Para insan sepakbola melihat apa yang terjadi di tubuh PSSI sudah melalui ambang batas toleransi. Maka bergemalah teriakan “Nurdin turun” saat pertandingan sepakbola persahabatan Indonesia vs Uruguay.

Tapi benarkah revolusi di tubuh pssi sudah akan terjadi? Dalam buku “mencintai Indonesia dengan amal” Eep Saefulloh Fatah mengatakan bahwa revolusi tidak semudah mengumpulan massa yang marah. Revolusi butuh infrastruktur. Revolusi tidak jatuh tiba-tiba dari langit.

Bung Eep menjelaskan bahwa setiap revolusi setidaknya butuh infrastruktur secara umum sebagai berikut : Pembangkangan massa yang diorganisir, Keretakan dan pembangkangan elite yang dikelola, adanya motif padu untuk revolusi, serta terjadinya krisis negara berupa melemahnya instrument negara dalam memfungsikan regulasi, dan adanya permisivitas lingkungan dunia.

Apa yang dimaksud oleh bung Eep memang revolusi dalam bentuk negara, tapi tak ada salahnya kok kita menggunakan infratsruktur tersebut untuk bingkai revolusi PSSI yang sedang ramai digemakan. Memang ada asyarakat yang marah dalam hal ini suporter, tapi sayangnya ini belum terkelola dengan baik, terkesan jalan sendiri-sendiri dan masih lebih suka memunculkan ego ‘warna’ dan kelompok. Kelompok suporter seharusnya mengesampingkan dulu rivalitas diantara mereka sebelum bicara revolusi, agar kemarah yang sudah terjadi bisa terkelola dengan baik.

Motif kemarahan juga banyak tersedia seperti buruknya prestasi sepakbola Indonesia baik dalam negeri maupun luar negeri. Buruknya sistem kompetisi yang berjalan. Aturan yang suka ditubruk oleh pengurusnya sendiri dll. Namun sayangnya motif tersebut tidak pernah padu untuk sebuah revolusi. Motif kemarahan yang ada hanya berdiri sendiri dan tidak berlangsung lama. Motif kemarahan yang ada tidak mampu menciptakan organisasi revolusioner, juga tak ada kepemimpinan revolsioner. Motif kemarahan yang ada hanya berdiri sendiri tanpa ada jaringan yang menghubungkan.
Soal pembangkangan elite, ini yang belum kelihatan semua elite di PSSI (pengurus, pengcab dan klub) terkesan nyaman dengan kondisi yang ada, ada memang pembrontakan seperti yang dilakukan oleh Persebaya, tapi sayang itu belum cukup untuk menciptakan kondisi revolusi di tubuh PSSI, bahkan banyak yang melihat pembangkangan itu hanya bertujuan jangka pendek yang kental.

Juga soal krisis organisasi, kita bisa saksikan tidak ada krisis organisasi di tubuh PSSI. Pengurus pusat sampai daerah semuanya nyaman-nyaman saja. tidak ada yang mengusulkan perbaikan dan pembaharuan di tubuh organisasi PSSI. Lingkungan dunia dalam hal ini FIFA dan AFC juga belum terlihat ‘turun tangan’ dalam kebobrokan di tubuh PSSI. Bahkan sekjen PSSI, Nugraha Besoes, menantang seruan revolusi PSSI. Melihat semua faktor yang ada maka saya melihat revolusi belum bisa dijadikan jalan keluar tetapi hanya nyanyian pelipur lara.

Tapi bukan berarti kita harus bersedih. Ini saatnya kita berhenti sejenak untuk lalu menetapkan tujuan-tujuan agung yang hendak dicapai. Para insan bola harus rela meninggalkan ego masing-masing untuk tujuan bersama. Kita harus bergegas meraih satu persatu hasil yang ingin dicapai tapi tidak boleh tergesa. Disini kita harus menghargai sebuah proses bahwa perbaikan itu bisa diraih ketika alat untuk meraihnya juga baik. Pastinya kita tidak mau revolusi yang terjadi hanya sekedar mengganti orang tetapi kelakuannya tidak jauh beda.

(tulisan iseng menunggu hujan reda)

2 komentar:

Laura Permana mengatakan...

mas...
kemarin di pesta blogger sampai jam brapa mas?
sampe selsai gax? seru gax?
hehhee..
aku mau ikut sampai slesai deh, tp gax bs harus pulng dluan.
ada urusan mas..

Athur Alam mengatakan...

Ahh.. mau digimana-gimana juga sepakbola Indonesia mah susah maju.. mau PSSI dirombak, mau dibentuk badan liga.. mau dibikin kompetisi (yang katanya) pro... tetap aja..