Pages

Kamis, 22 Juli 2010

Haji Agus Salim

Tokoh kita yang berikut ini bernama Haji Agus Salim. Agus Salim dilahirkan di Kota Gadang, Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada tanggal 8 Oktober 1884 dan wafat di Jakarta pada tanggal 4 November 1954. Agus Salim adalah putra kelima dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Agus Salim juga terkenal sebagai multi-languages, orang yang menguasai lebih dari dua bahasa. Agus Salim menguasai sembilan bahasa asing, diantaranya Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki dan Jepang. Haji Agus Salim pernah menjadi penerjemah di Konsulat Belanda di Jeddah Arab Saudi. Agus Salim pernah menjabat Menteri Luar Negeri pada periode 3 Juli 1947 - 20 Desember 1949. Pada masa jabatannya Agus Salim menjadi ketua delegasi Indonesia dalam Inter Asian Relation Conference di India dan berusaha membuka hubungan diplomatik dengan sejumlah Negara Arab, terutama Mesir dan Arab Saudi.


Ketika dilahirkan Agus Salim bernama Masyudul Haq, nama ini diambil orang tuanya dari seorang tokoh dalam sebuah buku yang dibaca ayahnya. Nama itu berarti "pembela kebenaran". Sang orang tua berkeinginan agar kelak anaknya dapat menjadi seperti nama yang diberikannya. Ketika Masyudul kecil, ia diasuh oleh seorang pembantu asal Jawa yang memanggil anak majikannya "den bagus", yang kemudian dipendekan jadi "gus". Kemudian teman sekolah dan guru-gurunya pun ikut memanggilnya "Agus".


Agus Salim adalah manusia yang serba bisa. Agus Salim adalah penerjemah, ahli sejarah, wartawan, sastrawan, diplomat praktisi pendidikan, filsuf dan ulama. Bila diibaratkan ia ibarat sebuah perpustakaan yang berjalan dan berbentuk manusia.


Agus Salim adalah tokoh kosmopolitan yang tidak hanya berkiprah domestik saja seperti HOS Tjokroaminoto tetapi sudah mendunia. Agus Salim juga dikenal kalangan cendikiawan diluar negeri sebagai seorang jenius dalam bidang bahasa yang mampu menulis dan berbicara dalam banyak bahasa asing. Tetapi tidak ada gading yang tak retak, Prof. Schermerhorn menulis dalam catatan hariannya tanggal 14 Oktober 1946 bahwa hanya satu kelemahan Agus Salim, yaitu selama hidupnya selalu melarat dan miskin.


Ketika Agus Salim berusia 6 tahun, ayahnya menjadi jaksa tinggi pada pengadilan untuk daerah Riau dan sekitarnya. Agus Salim diterima pada sekolah dasar Belanda ELS (Europeese Lager School).


Pada tahun 1898 setelah lulus dari ELS, Agus Salim dikirim ke Batavia untuk belajar di HBS (Hogere Burger School). Pada tahun 1903, Agus Salim lulus dengan angka tertinggi tidak saja di sekolahnya, tetapi juga untuk sekolah HBS lain seperti Bandung dan Surabaya. Sejak itu nama Agus Salim menjadi terkenal di seantero Hindia Belanda di kalangan kaum kolonial dan terpelajar.


Agus Salim kemudian mengajukan permohonan beasiswa untuk belajar kedokteran di negeri Belanda. Sayangnya permohonan ini ditolak. Para gurunya mengusahakan agar Agus Salim mendapat beasiswa di STOVIA (School tot Opleiding van Inlansche), namun hal ini juga gagal.


Kemudian tahun 1905, Snouck Hurgronye mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar menempatkan tenaga pribumi pada perwakilan Belanda di luar negeri. Agus Salim mendapat tawaran bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah dan mengurus urusan haji. Selama Di Jeddah inilah Agus Salim memperoleh kesempatan untuk menambah dan memperdalam ilmunya tentang keislaman dan bahasa Arab kepada para ulama yang bermukin di Mekkah. Selain itu beliau juga belajar pada saudara sepupunya, Sheikh Ahmad Khatib yang telah lama bermukim disana.


Tokoh Yang Mandiri

Agus Salim adalah tokoh yang mencoba untuk mandiri dalam menjalani hidupnya, ia telah mencoba berbagai pekerjaan selama di Jakarta baik di organisasi politik maupun di pemerintahan. Agus Salim beberapa kali menjadi pengelola surat kabar dan sangat produktif menulis baik tajuk rencana maupun artikel lainnya.


Agus Salim kemudian menekuni dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim aktif dalam dunia politik sebagai pemimpin organisasi Sarekat Islam.


Dari Kooperatif Menjadi Radikal

Kurang lebih enam tahun Agus Salim berada di Arab Saudi. Akhirnya pada tahun 1911, Agus Salim pulang ke Indonesia. Kepulangannya inilah yang menjadi lembaran baru dalam hidupnya, sebab disinilah timbulnya semangat perlawanan kepada penjajah Belanda.


Agus Salim awalnya adalah orang yang kooperatif terhadap Belanda. Bahkan sifatnya ini menimbulkan kecurigaan ia adalah mata-mata Belanda ketika masuk ke Sarekat Islam. walaupun ia sendiri tidak menyanggah bahwa masuknya ia ke SI adalah atas permintaan Politieke Inlichtingen Dients (PID), sebuah kantor dinas informasi politik Belanda.


Sikapnya mulai berubah ketika ia menjadi anggota Volksraad, Dewwan Perwakilan Rakyat buatan Belanda. disini sikap radikalnya mulai muncul. Ia mulai berani bicara terbuka dan lebih keras. Bahkan, ia nekat menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato dan rapat-rapat dewan, untuk diketahui beliau adalah orang pertama yang menggunakan bahasa Indonesia di Volksraad.


Perubahan sikapnya terus menguat seaktu SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam, benyak yang bilang bahwa perubahan ini adalah sebagai “hijrah” dalam bidang politik. Pada moment inilah Agus Salim mencanangkan program politik non-kooperatif terhadap Volksraad. Selain itu Agus Salim juga menyebut Volksraad sebagai “Komedi Omong”


Sosok yang Kritis

Agus Salim adalah tokoh yang kritis dan berani mengeluarkan pendapatnya, tetapi hal ini dilakukannya setelah mempelajari dengan baik apa yang akan dikatakannya bukannya hanya sekedar beda aja.


Ia pernah membuat hal yang controversial ketika ia membuka hijab, antara perempuan dan pria, dalam kongres kedua Jong Islamieten Bond (JIB). Menurutnya hal ini bukanlah sesuatu yang diajarkan Islam. beliau berargumen bisa jadi ini merupakan kebiasaan bangsa Yahudi dan Nasrani yang memposisikan perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki.


Selain itu beliau juga menkritik kaum ulama yang tidak mau mempelajari ilmu-ilmu sosial diluar ilmu-ilmu keislaman. Baginya ulama yang seperti ini tak bakal sanggup menelaah segi kemasyarakatan dalam Islam, karena hanya akan berpatokan pada segi fikih dan ibadah yang sempit saja.


Haji Agus Salim juga mengkritik sikap beragama umat islam pada saat itu, yang sepertinya juga sama dengan saat ini, ketika itu Agus Salim berkata, “Dimana letak kehebatan Islam. islam tidak terletak pada isi yang terkandung di dalam kehebatan Al-Qur’an, akan tetapi dalam pelaksanaannya”


Peduli Pada Hukum

Agus Salim adalah bukan saja sosok yang sangat menghargai demokrasi tetapi Agus Salim juga sangat menghargai hukum hal ini terlihat dalam tulisannya pada harian Fadjar Asia tanggal 29 November 1927, Agus Salim menulis tentang “Polisi dan Rakyat" :

“Sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-buah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut “pengakuan" di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa".


Beliau mengecam perlakuan polisi yang suka memaksa dengan cara kekerasan agar seseorang mengakui kesalahan yang dibuatnya. Karena banyak orang yang membuat pengakuan karena penyiksaan bukan karena penyidikan.


Agus Salim juga menaruh perhatian khusus terhadap para hakim. “Jika negeri hendak selamat, haruslah pengadilan berderajat tinggi dalam anggapan orang ramai di negeri ini. Dan hakim-hakim, istimewa yang mengepalai majelis pengadilan wajiblah selalu menunjukkan sikap kebesaran yang anggun, disertai kesabaran, keramahan dan kemurahan, yang menunjukkan ia menjaga jalannya hukum dengan sungguh-sungguh, dengan memakai timbangan yang jernih, yang sekali-sekali tidak boleh kecampuran pengaruh cinta dan benci, yang kira-kira boleh memincangkan teraju timbangannya" (Fadjar Asia, 26 Juni 1928).


Diplomat Ulung

Setelah Indonesia merdeka, Agus Salim beberapa kali menduduki posisi menteri muda yaitu Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Syahrir II pada tahun 1946 dan Kabinet III pada tahun 1947. Agus Salim juga kemudian menjadi menteri luar negeri yaitu Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin pada tahun 1947, Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta pada 1948-1949.


Pengakuan negara-negara Arab atas kemerdekaan Indonesia tahun 1947 dapat dianggap sebagai jasa Agus Salim setelah sebelumnya, sempat selama tiga bulan Agus Salim mengembara di Timur Tengah dengan kondisi keuangan yang sangat terbatas sebagai utusan negara yang baru merdeka. Agus Salim juga pernah mengetuai delegasi Indonesia dalam Inter Asian Relation Conference di India.


Kemampuan bahasa dan keluasan ilmu pengetahuan menyebabkan Agus Salim menguasai suatu diskusi atau percakapan. Prof George Kahin menuturkan bahwa suatu hari ia mengundang Agus Salim dan Ngo Dinh Diem makan di ruang dosen Cornell University. Agus Salim waktu itu sebagai pembicara tamu di Cornel University tersebut sedangkan Ngo Dinh Diem, juga pandai berpidato dan berdebat, saat itu sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam Selatan. Kahin terperangah karena kedua tokoh itu ternyata sudah asyik berdebat dalam bahasa Perancis. Ternyata Agus Salim dapat membuat Ngo Dinh Diem menjadi pendengar saja.


Layaknya orang Minangkabau, Agus Salim tidak pernah rendah diri apalagi merendahkan diri ketika berhadapan dengan orang lain. Ada suatu peristiwa lucu dan unik ketika Agus Salim berkunjung ke Inggris untuk menghadiri upacara penobatan Ratu Inggris Elisabeth tahun 1953. Saat itu Agus Salim kesal dengan sikap Pangeran Philip, suami ratu Elizabeth, yang kurang perhatian terhadap tamu asing. Seketika Agus Salim menghampiri sang pangeran dan mengayun-ayunkan rokok kreteknya di sekitar hidung sang pangeran. "Apakah Paduka mengenali aroma rokok ini?" tanyanya kepada sang pangeran. Dengan wajah ragu dan sikap yang ragu sang pangeran mengaku tidak mengenal aroma tersebut. Sambil tersenyum Agus Salim berujar, “Itulah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya". Maka suasana pun menjadi mencair, sang pangeran mulai ramah meladeni tamunya.


Agus Salim menikah pada tahun 1912, dengan gadis sedesanya di Minangkabau, Zaitun Nahar. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai delapan anak. Mereka adalah Theodora Atia, Yusuf Taufik, Violet Hanisah, Maria Zenibiyang, Ahmad Syauket, Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman Sidik.


Agus Salim sebetulnya tokoh sangat disiplin dalam mendidik dirinya dan keluarga. Setelah anaknya yang pertama lahir, selama 18 tahun Salim sekeluarga hanya makan sayur segar tanpa daging sama sekali. Padahal dalam keluarga Minang, makan daging seperti rendang adalah santapan utama. Ada dua alasan yang mendorongnya melakukan hal tersebut. Pertama, seperti diceritakan oleh anaknya, karena ia menderita ambeien, oleh dokter dianjurkan untuk banyak makan sayur dan berpantang daging. Namun ada pula sumber lain yang mengatakan bahwa Agus Salim takut karena istrinya adalah saudara sepupunya sendiri, kuatir hal itu menyebabkan anak-anaknya cacat. Oleh sebab itu perlu dilakukan diet kesehatan yang sangat ketat agar putra-putrinya yang dilahirkan juga sehat.


Agus Salim adalah tokoh yang sangat menghormati dan menjunjung tinggi akan kemerdekaan dalam berpikir. Makanya ia memberikan pendidikan sendiri kepada anak-anaknya, termasuk kepada istrinya. Layaknya home schooling yang kini tengah marak. Hal ini dilakukan agar keluarganya tidak terbawa dan terhasut oleh pikiran dan kebudayaan kaum penjajah. Pelajaran yang Agus Salim berikan kepada anak-anaknya antara lain tulis-baca, bahasa asing, akhlak, dan yang terpenting pelajaran agama.


Cara mengajarnya juga tidak otoriter. Ia tidak pernah menyuruh anak-anaknya untuk membaca ini dan itu, tetapi beliau memotivasinya agar sang anak mau membaca karena memang kesadarannya. Caranya dengan menaruh buku-buku di berbagai tempat yang mudah dijangkau agar membacanya sendiri.


Selain itu Agus Salim juga mendidik mereka sedari kecil agar bersifat kritis dan korektif. Maka tidak salah bila anak-anaknya ketika itu sudah berani membantah pendapatnya. Ia tidak marah malahan ia senang dan suka mengajak anak-anaknya untuk berdiskusi, berani mengeluarkan argumentasi. Hal ini dilakukan agar sang anak tidak menjadi pribadi yang gampang terima apa adanya.


Kehidupan rumah tangga Agus Salim sangat sederhana. Kebiasaan Agus Salim yang unik adalah kurang lebih setiap enam bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Agus Salim berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah atau pergi istirahat di lain kota atau negeri.


Walaupun Agus Salim terkenal sebagai tokoh baik di dalam negeri maupaun di luar negeri, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk memperhatikan anak-anaknya di rumah. Ia tidak ingin kesibukannya di luar rumah malah membuat perhatiannya kurang terhadap anggota keluarganya.


Agus Salim adalah manusia merdeka. Merdeka dalam berhadapan dengan penjajah, merdeka dalam berurusan dengan keluarga, kerabat dan bangsanya sendiri. Kemudian merdeka dalam memilih lapangan pekerjaan, merdeka dalam berbusana (yang baik), serta merdeka dalam bersuara. Terutama, merdeka dalam bidang pendidikan.

0 komentar: