Pages

Senin, 22 Juni 2009

Budaya Membaca Peta

Oleh Irfan AmaLee (CEO Pelangi Mizan)

Sebuah unjuk rasa terjadi di sebuah desa bernama Broughton. Warga desa di bagian selatan Inggris ini memblokade jalan menghalangi mobil Google yang siap memotret semua sudut desa yang nantinya akan di-upload ke web untuk layanan terbaru ”Google Street View”. Mereka tak rela orang sedunia melihat semua sudut desa, lorong-lorong, hingga pekarangan bahkan pintu rumah mereka. "Kami khawatir pencuri akan memanfaatkan layanan Google ini untuk merencanaan niat jahat mereka," begitu keberatan salah satu warga.



Puja-puji dan kontroversi terus bermunculan mengiringi diluncurkannya layanan baru ”Google Street View”. Sebelumnya, melalui layanan ”Google Earth”, kita bisa mencari suatu lokasi dalam peta yang merupakan potret dari arah langit. Kini, melalui ”Google Street View”, kita dapat melihat setiap lorong jalan, perempatan, tikungan, bahkan pintu rumah dengan sudut pandang seperti menggunakan mata kamera. Tak berhenti di situ. Kita pun dapat memutar kamera 360 derajat, nengok kanan-kiri, atas-bawah, mirip game-lah. Untuk membangun layanan ini, dengan sebuah mobil yang dilengkapi kamera, Google menelusuri kota, lorong, dan mengambil jutaan gambar sepanjang jalan yang dilalui.

Kontroversi bermunculan karena sepanjang proses pemotretan itu, banyak objek yang secara tak sengaja tertangkap kamera. Salah satu koran di London memberitakan ada seorang politisi sedang memukul seseorang di luar sebuah bar tertangkap kamera Google. Bahkan Liam Gallagher, vokalis band kesohor Oasis, ditengarai tertangkap kamera di suatu sudut kota, meskipun belakangan berita itu disangkal Gallagher. Diberitakan juga seorang istri bercerai dengan suaminya setelah melihat (melalui layanan ”Google Street View”) mobil suaminya terparkir di depan rumah teman perempuannya. Warga desa Broughton keberatan karena mereka menganggap layanan ini tidak etis. Google telah mempublikasikan ruang-ruang privat mereka ke mata dunia.
Peta, bagi warga kota-kota besar di negara maju, adalah sebuah kebutuhan pokok. Di toko buku, ratusan jenis peta tersedia. Mau peta apa? Peta negara hingga peta khusus untuk backpacker tersedia.

Peta sebagai Kebutuhan Utama
Google pasti sudah memperhitungakan nilai bisnis layanan baru ini. Hukum pasar menyatakan bahwa sebuah produk diciptakan karena pihak produsen percaya pasar membutuhkannya. Peta, bagi warga kota-kota besar di negara maju, adalah sebuah kebutuhan pokok. Di toko buku, ratusan jenis peta tersedia. Mau peta apa? Peta negara hingga peta khusus untuk backpacker tersedia. Mungkin kita pernah mendengar Lonely Planet, sebuah peta yang menjadi salah satu kiblat para backpaker untuk menemukan tempat wisata yang asyik, hotel dengan tarif miring, dan info perjalanan lain.

Peta, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat kota di negara-negara maju. Saya baru betul-betul merasakan ini ketika selama dua minggu harus menjelajahi kota London untuk sebuah Industry Tour. Pihak panitia, The British Council, memberikan jadwal tiga pertemuan dalam sehari dengan meeting point di tiga titik berbeda dan saling berjauhan. Saya menyangka bahwa akan ada seorang pemandu dengan sebuah mobil yang mengantar-jemput kami. Ternyata mereka hanya memberi selembar alamat yang dilengkapi dengan peta.

Seorang teman dari Meksiko, ketika mendarat, langsung membeli buku setebal kamus besar, peta lengkap kota London edisi terbaru. Teman lain dari Slovenia selalu berjalan sambil menunduk memperhatikan peta ”Google Earth” di layar iPhone-nya yang menyediakan fitur GPS. Di hotel, puluhan peta tersedia, ada peta khusus wisata kuliner, peta bertema museum, serta puluhan peta dengan berbagai tema berbeda. Jika kita bertanya tentang sebuah alamat pada resepsionis hotel, maka dia akan segera membuka peta digital, dan mengetikkan nama tempat yang kita tuju. Setelah itu, dia pun akan segera menunjukkan titik tujuan kita, juga di atas peta. Di stasiun kereta bawah tanah, juga di halte bis, terpampang peta raksasa dengan sistem warna yang begitu mudah dimengerti, bahkan orang dungu sekalipun tak akan tersesat.

Sebelum menuju suatu tempat, setiap orang merencanakan perjalananya, menganalisis jalurnya, dan memastikan berapa waktu tempuhnya. Tiga pertemuan satu hari, yang mustahil dicapai di Jakarta, ternyata di sana dapat dicapai dengan waktu yang nyaris presisi. Di mobil pribadi selalu terselip peta tebal mirip Yellow Pages. Ketika mereka tersesat, daripada membuka kaca untuk bertanya, mereka lebih memilih membuka lembaran-lembaran peta. Itulah tradisi membaca peta, tradisi menganalisis, serta merencanakan. Karena itu, peta menjadi teman siapa pun yang akan menjelajah. Tak aneh jika Google berani berinvestasi untuk produk peta tiga dimensinya.
Kita tumbuh bukan dalam budaya membaca peta. Kita tumbuh dalam budaya tegur sapa, ngobrol, bicara (dan akhir-akhir ini budaya SMS dan ngerumpi di Facebook). Tak ada peta di mobil kita, tak ada peta di rumah kita.

Membaca Peta atau Bertegur Sapa?
Kita di sini, sepertinya punya tradisi yang berbeda. Kita tumbuh bukan dalam budaya membaca peta. Kita tumbuh dalam budaya tegur sapa, ngobrol, bicara (dan akhir-akhir ini budaya SMS dan ngerumpi di Facebook). Tak ada peta di mobil kita, tak ada peta di rumah kita. Memang kita sepertinya tak butuh itu. Toh kalau kita tersesat ada ribuan orang yang berseliweran di jalan yang siap meluangkan waktu untuk kita tanya. Jika kita tanya, dengan gaya yang khas mereka biasanya menjawab, "Lurus saja, nanti belok kanan, belok kiri. Di situ ada tikungan, mentok, ada poskamling, nah di sebelah gapura, nanti di sana nanya lagi aja." Bahkan kalau di daerah pedesaan, jawaban akan lebih tidak measurable. "… Oh lurus saja sudah dekat kok, paling tinggal sebatang rokok lagi"—maksudnya, jarak itu bisa ditempuh dalam waktu sebanding dengan durasi sebatang rokok jika kita isap sampai habis.

Itu baru skala mikro, yaitu dari sudut pandang kita sebagai masyarakat pelaku dan pengguna jalan. Di skala makro, kebijakan misalnya, sebuah kota tak pernah benar-benar direncanakan agar mudah ditelusuri. Hari ini sebuah jalan dua arah, besok bisa tiba-tiba diubah menjadi searah. Belum lagi jalan-jalan tikus yang menjadi favorit pengguna jalan yang tak pernah masuk perencanaan tata kota. Di Cicadas Bandung, kita mengenal istilah “gang seribu punten” (punten artinya permisi) karena begitu banyak orang nongkrong di gang itu. Kita harus mengucapkan punten setiap melewati mereka, jika kita ingin selamat sampai tujuan. Mungkin dulu para insinyur perancang kota kita sangat paham sosiologi masyarakat kita dan berpikir, "Kita tak usah merancang kota begitu teratur dan terukur, toh nanti masyarakat kalau nyasar bisa nanya sana nanya sini." Atau mungkin mereka berargumen mengutip pendapat beberapa sosiolog yang mengkhawatirkan kondisi sosial masyarakat kota di Jerman. Karena saking teratur dan jelasnya semua petunjuk kota, tak ada lagi orang yang perlu bertegur sapa di jalan. Kota-kota di Jerman jadi kaku dan dingin. Apa pun alasannya, yang jelas kita memang tak suka membaca peta, dan payah dalam menganalisis dan merencanakan.
Dengan bermodalkan sebuah peta, ratusan tahun lalu, bangsa Eropa menaklukkan Asia, Amerika, dan menemukan Australia, lalu mendudukinya. Mereka rajin membaca, membaca peta, merencanakan, dan memperhitungkan.

Saya menduga itulah sebabnya mengapa bangsa Eropa berhasil menguasai hampir semua benua. Dengan bermodalkan sebuah peta, ratusan tahun lalu, mereka menaklukkan Asia, Amerika, dan menemukan Australia, lalu mendudukinya. Mereka rajin membaca, membaca peta, merencanakan, dan memperhitungkan. Padahal, kalau kita menelisik lagi sejarah, kita akan menemukan bahwa tradisi peta dipelopori oleh Al-Khwarizmi yang merancang peta modern generasi pertama pada 851 M. Lalu peta itu dikembangkan oleh Yunis Al-Mishri (951), Ash-Shafaqi, Al-Istakhiri, dan disempurnakan Al-Biruni pada 1048. Dan puncaknya adalah pembuatan globe pertama di dunia yang terbuat dari perak seberat 400 kilogram oleh Al-Idrisi pada 1166, yang bekerja sama dengan Raja Roger II, Raja Norman dari Sisilia.

Membaca peta adalah bagian tak terpisahkan dari tradisi membaca, berpikir, menganalisis, dan men-digest sebuah informasi. Buta-baca-peta akan menyebabkan “greget” dari sebuah informasi gagal tersampaikan. Saya bisa memberi sedikit ilustrasi. Ketika belajar sejarah Islam (tarikh al-islam) di pesantren, saya diajarkan bahwa Rasul hijrah dari Makkah ke Madinah, titik. Tak ada penjelasan tentang bagaimana dan sejauh apa perjalanan hijrah Rasul. Informasi tadi hanya membuat saya menganggap perjalanan hijrah itu biasa saja, seperti kita pergi dari Bandung-Jakarta zaman sekarang, tak ada yang istimewa. Padahal kalau informasi itu disampaikan dengan alat bantu peta, kita akan melihat jarak Makkah-Madinah sebanding dengan jarak Bandung-Surabaya. Dan perlu diingat, Rasul menempuh jarak Bandung-Surabaya itu dengan hanya menunggang unta, bukan kereta api Argowilis! Dengan memberi sedikit perspektif geografis, asosiasi, imajinasi, maka kita bisa men-digest informasi itu lebih “greget”, bahwa perjalanan hijrah bukan sekadar perpindahan tempat, tapi perjuangan, kesungguhan, dan pengorbanan.

Karena itu saya mengoleksi beberapa globe. Globe membuat saya punya kesadaran geografis. Ketika mudik lebaran dari Bandung ke Majalengka, sebelum berangkat saya membuat peta sederhana dengan putri saya yang berusia 6 tahun. Lalu putri saya akan membuat sebuah titik dan menuliskan setiap nama kota yang dilalui. Hal ini saya lakukan setelah mengetahui sebuah cerita menakjubkan tentang etos para ilmuwan Belanda. Ketika saya membuat film tentang Danau Purba Bandung, saya membaca bahwa para peneliti Belanda melakukan perjalanan melintasi Bandung dengan tangan kiri menggambar sketsa, dan tangan kanan membuat catatan perjalanan. Kapan kita punya tradisi seperti itu?[]

tulisan ini diambil dari www.mizan.com

0 komentar: