Pages

Senin, 15 Desember 2008

Senang disaat orang Susah

Namanya as- Surkaty. Selama tiga puluh tahun ia menangis memohon ampun kepada Allah swt. Penyebabnya karena ia menyesali kata hamdalah yang keluar dari mulutnya.
Kejadian itu berlangsung sewaktu terjadi musibah kebakaran di pasar kota Baghdad. Kebetulan Surkaty punya toko di pasar tersebut. Kebakaran itu melumat seluruh bangunan toko di pasar tersebut, kecuali hanya satu toko, milik Surkaty. Ketika mengetahui hal tersebut ia pun mengucapkan Alhamdulillah.

Tetapi setelah itu ia merenung, “Apakah hanya engkau saja yang tinggal di dunia ini. Tidakkah ada orang lain. Tokomu memang tidak terbakar. Lalu bagaimana dengan toko tetanggamu? Ucapan Alhamdulillah berarti engkau senang dengan tidak terbakarnya tokomu. Jadi engkau rela toko orang terbakar asalkan tokomu tidak” begitu suara hati as-Surkaty.

Lalu as-Surkaty teringat
akan hadits Rasulullah saw, “Barangsiapa melewatkan waktu paginya tanpa memperhatikan urusan kaum muslim, maka tidaklah ia termasuk dari mereka”
Karena rasa takut tidak masuk kedalam golongan muslim inilah yang membuat as-Surkaty menangis terus-menerus. Setiap waktu ia dibayangi perasaan bersalah akan ucapan hamdalah yang dikeluarkannya. Ia tidak merasakan kesusahan tetangganya yang juga muslim. Betapa egoisnya ia, disaat saudara muslimnya terkena musibah ia malah bersuka tanpa berbela sungkawa.

Kisah as-Surkaty ini patut kita renungi dan ambil hikmahnya. Ditengah tingginya ego dan sifat narsisme kita, sudah layak kita kembali memikirkan kawan-kawan yang ada disekitar kita.
Dalam pergaulan adakalanya kita mengalami kondisi yang demikian. Suatu waktu kita pernah merasakan kesuksesan tetapi disisi yang lain saudara kita merasakan kekurangan. Kita bergembira dihadapannya, tenpa memperdulikan musibah yang sedang menim¬panya.

Mari kita bertanya kepada diri sendiri, layakkah kita disebut sebagai seorang muslim jika kita tidak pernah memperhatikan kawan-kawan disekitar kita? layakkah kita disebut orang yang beriman jika indicator keimanan itu salah satunya dengan memperhatikan kaum muslim lainnya?

Jangan buru-buru kita berbicara tentang solidaritas kita kepada umat muslim di belahan dunia lain, sebelum kita melihat saudara, tetangga dan kawan-kawan disekitar kita yang masih membutuhkan bantuan dan uluran kita. bukannya itu tidak penting, tetapi yang terdekatlah yang pertama menjadi tanggungan kita.

Ada pertanyaan dalam relung hati saya ketika membaca kisah diatas. Jika hanya mengucapkan hamdalah saja menyebabkan Surkaty menangis begitu lama dan melahirkan penyesalan yang dalam, lalu bagaimana jika itu hanya lebih dari sekedar ucapan Alhamdulillah. Bagaimana jika yang dilakukan omongan yang gak enak tentang seseorang atau bagaimana jika yang dilakukannya telah menyebabkan seseorang terluka secara fisik? Sesuatu yang gak terbayangkan.

Lalu bagaimana dengan diri kita. masihkah kita tidak menyesal dan menangisi ucapan-ucapan penuh ghibah yang kita lakukan terhadap orang lain? Masihkah kita asyik berjalan dengan tenangnya sedang saudara-saudara kita terluka hatinya akibat perbuatan yang kita lakukan.

0 komentar: