Pages

Rabu, 19 Mei 2010

Etika Kepemimpinan Politik

Adakah etika dalam dunia politik? Ini selalu menjadi perdebatan menarik diberbagai kalangan. Tidak salah memang, sebab secara umum politik bisa diartikan pertarungan untuk merebut kekuasaan yang pastinya melibatkan semua unsur kekuatan yang dimiliki. Sedangkan Etika secara umum mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya.

Banyak orang menganggap etika politik dianggap sebagai dunia yang ideal. Bahkan seoarang Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik: merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak poltisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”Tetapi bukan berarti dunia politik menutup diri dari permasalahan etika. Saya masih melihat adanya celah nilai-nilai normatif dalam dunia politik. Walau betapa kerasnya pertarungan dan benturan dalam dunia politik namun masih ada kerinduan akan keteraturan dan kedamaian.


Dalam konteks inilah agaknya pembicaraan tentang etika politik menjadi relevan. Haryatmoko (2003) menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai etika politik setidaknya karena tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Pernyataan "perubahan harus konstitusional" menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Ungkapan dari Lord Acton bahwa power tends to corrupt dapat menjadi gambaran yang tepat untuk menuntun kita pada realitas politik; bahwa kekuasaan (yang dihasilkan dari proses politik) cenderung diselewengkan, disalahgunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan golongan tertentu. Disini peran etika politik menjadi penting untuk menghapus stigma yang telah kadung melekat dalam dunia politik.
Soal etika dan perilaku politik, para pemimpin nampaknya juga masih perlu belajar banyak. Misalkan dalam pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu berarti si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Namun, jika di tahun pertama atau kedua (pokoknya sebelum berakhir masa jabatannya di parlemen) si A kemudian ’loncat pagar’ ikut pilkada demi merebut jabatan kepala daerah (entah gubernur atau walikota/bupati), tidakkah ia sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat? Apalagi jika si A menang dan akhirnya melepas jabatannya di parlemen. ”Tapi, itu kan bukti bahwa rakyat juga memberi kepercayaan kepada saya untuk menjadi kepala daerah?” mungkin begitu dalih si A. Jawaban seperti itu bisa saja benar, tapi bisa juga salah. Orang-orang seperti si A, yang sejak pilkada langsung diberlakukan cukup banyak bermunculan, mestinya memikirkannya sendiri dengan hati-nurani.

Itulah hasrat berkuasa yang begitu menggebu-gebunya sampai-sampai mampu mengalahkan etika politik. Jika hasrat tersebut bahkan membuat si A sanggup menabrak rambu-rambu politik, baik di lingkungan internal (partai dari mana ia berasal) maupun eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan atau melanggar peraturan pun sanggup dilakukannya di kemudian hari. Negara rusak dan rakyat menderita punya pemimpin seperti itu.
Ke depan, bagaimana agar etika politik yang baik menjadi pedoman para pemimpin dalam berperilaku politik? Seharusnya nilai agama cukup untuk dijadikan sumber etika. Masalahnya, apakah agama yang dianut para pemimpin itu dipahami dengan benar dan dihayati dengan baik? Jika tidak, sangat mungkin para pemimpin itu hanya mengandalkan intuisi politik dan bukan etika politik. Alhasil, proses-proses dan kerja-kerja politik kehilangan jiwanya sehingga produk-produknya pun tidak berorientasi kebaikan, keadilan, dan kebenaran bagi rakyat dan negara. Maka, tak heranlah jika reformasi yang telah berjalan sedekade ini hanya ”begitu-begitu saja” di mata banyak orang. Ironis dan memprihatinkan, karena biaya yang sangat besar telah dicurahkan untuk mewujudkan agenda-agenda reformasi itu.

Mempertimbangkan kecenderungan penyelewengan yang begitu besar di pundak politisi sebagai pemegang kekuasaan, maka diperlukan suatu upaya untuk mengembalikan ruh moralitas ke dalam pribadi politisi. Karena jika sudah ada dasar moralitas yang menjadi pegangan dan landasan berpijak, diharapkan akan menjadi pondasi kokoh yang akan mewarnai pemikiran dan aksi-aksi mereka di panggung politik dalam memperjuangkan demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan (HAM) yang hilang, dan secara bertahap akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan keadilan sosial bagi seluruh elemen masyarakat.

0 komentar: