Pastinya kita masih mengenal Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini membahas mengenai batas wilayah
Mister Moehammad Roem lahir di Parakan, Jawa Tengah pada 16 Mei 1908. Ia menempuh pendidikannya di Geneeskunding Hogeschool dan
Mohammad Roem juga dikenal sebagai pemimpin delegasi
Pada masa penjajahan Belanda, bersama dengan para pemuda Jawa lainnya, ia aktif di Jong Java. Selain itu ia juga terlibat aktif dalam pendirian Jong Islamieten Bond (JIB). JIB adalah organisasi pemuda muslim pada saat itu, anggotanya tidak hanya dari Pulau Jawa juga dari pulau-pulau lainnya.
Di JIB Moehammad Roem menjadi anggota pimpinan pusatnya, ia juga sempat menjadi Ketua Panitia Kongres pada 1930. Pada waktu JIB mendirikan Kepanduan, ia juga aktif dan menduduki ketua umumnya. Selain di organisasi kepemudaan, ia juga sempat aktif dalam sejumlah partai politik. Diantaranya di Partai Syarikat Islam
Pada masa penjajahan Jepang, ia menjadi Ketua Muda Barisan Hizbullah di Jakarta. Pada masa-masa menjelang dan awal kemerdekaan ia pernah menjabat sebagai Komite Nasional Jakarta Raya, Anggota Pimpinan Pusat Masyumi, Menteri Dalam Negeri pada kabinet Natsir (1950-1953), juga pernah menjabat sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957), serta banyak jabatan penting lainnya.
Banyak karya yang pernah dibuatnya, diantaranya: Jejak Langkah Haji Agus Salim, Karena Benar dan Adil, Pelajaran dari Sejarah, Tinjauan Pemilihan Umum I dan II dari Sudut Hukum, Tiga Peristiwa Sejarah, Bunga Rampai Dari Sejarah, Sumpah Pemuda Puncak Perkembangan, dan masih banyak karya lainnya.
Muhammad Roem juga seorang tokoh yang sangat menghargai pemikiran anak muda. Ini terbukti ketika beliau berkorespondensi dengan Nurcholis Madjid. Meski dalam kondisi yang sudah tidak sehat dan fit lagi, ia masih dengan sabar dan tekun membalas surat-surat Nurcholis Madjid. Keduanya membahas seputar polemik negara Islam. Nah, kumpulan
Bagi Moehammad Roem, pelabelan negara Islam bukanlah sesuatu yang penting. Ia menganggap, sesuatu itu dinilai dari substansinya atau isinya. Inilah yang menurutnya sangat ditinggalkan, karena kita lebih banyak bergulat pada packaging, tetapi kualitasnya tidak terlalu dipentingkan.
Walaupun mengiyakan bahwa dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak ada perintah membuat negara Islam, tetapi Moehammad Roem bukanlah seorang tokoh sekuler, yang ingin memisahkan peran agama dalam negara. Jelas itu sungguh beda. Moehammad Roem tidak setuju dengan pemisahan antara negara dan agama. Karena baginya, Islam adalah pedoman hidup.
Ketika berbicara tentang Piagam Jakarta yang tidak jadi dimasukkan dalam pembukaan UUD 45 Moehammad Roem berkata, “Andaikata Piagam Jakarta itu tidak masuk dalam preambule atau dalam dekrit, maka tetap pemeluk agama Islam berkewajiban menjalankan syariat Islam. Kewajiban itu adalah pembawaan bagi tiap-tiap orang yang mengatakan dirinya seorang Islam.” Baginya, syariat Islam adalah suatu kewajiban bagi mereka yang mengaku sebagai seorang muslim.
Baginya, walaupun Piagam
Masih menurut Moehammad Roem, sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Piagam Jakarta dalam pembukaan UUD, menunjukkan dan mengingatkan kepada kita, bahwa manusia dalam kehidupan bernegara memerlukan tuntunan Ilahi.
Ketika Nurcholis Madjid mewacanakan “Islam? Yes, Partai Islam? No”, Moehammad berpendapat berbeda. Baginya “Islam? Yes, Partai Islam? Yes”. Baginya partai Islam adalah tempat dimana ia berjuang dan beramal. Partai Islam dalam dirinya sepenting dengan keberadaan PNI bagi Soekarno.
Moehammad Roem juga orang yang sangat menghargai adanya perbedaan pemikiran. Baginya perbedaan pemikiran bukan berarti harus membenci orangnya. Inilah sifat luhur yang dimiliki oleh para negarawan kita pada awal berdirinya negara ini. Sesuatu yang sangat langka pada saat ini. Bayangkan, elite-elite politik saat ini asyik saling menyerang satu sama lain. Saking asyiknya mereka nggak lagi tahu mana kritik yang baik atau Ghibah or ngomongin orang layaknya dunia infotainment.
0 komentar:
Posting Komentar