Pages

Kamis, 22 Juli 2010

Jenderal Sudirman

Pastinya kita akrab dengan nama yang satu ini, Jenderal Sudirman. Apalagi bagi yang sering bolak-balik ke Jakarta pastinya mengetahui nama yang satu ini. Yap, sebab disana ada jalan yang bernama jenderal sudirman, dimana diujung jalannya ada patung besar sang tokoh yang pernah masuk dalam salah satu adegan pada film Naga Bonar Jadi 2 yang diperankan oleh Dedy Mizwar.


Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Beliau telah menjadi Jenderal saat usianya baru menginjak usia 31. suatu prestasi yang sangat besar.


Sudirman dilhirkan di desa Bantarbarang, Rembang, Jawa Tengah, pada hari senin 24 Januari 1916. Sudirman dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Lingkungan yang sederhana itu pula yang terbawa dalam dirinya. Sudirman kecil juga seorang yang rajin membantu di rumah. Selain itu ia juga seorang yang taat kepada kedua orang tuanya.


Sejak Kecil Menjadi Pemimpin

Sejak muda Sudirman telah menjadi kader Muhammadiyah. Ia pun aktif dalam segala kegiatan organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ini. Hal ini terlihat ketika ia bergabung kedalam kepanduan Hizbul Wathan. Disinilah Sudirman telah menunjukkan sifat-sifat kepemimpinannya. Ia adalah seorang yang pendiam tetapi tegas dan teguh dalam memegang kebenaran. Ia juga sudah dapat membimbing rekan-rekannya.


Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah tamat pendidikan, ia langsung diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.


Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.


Sudirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Setelah itu ia melanjutkan HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.


Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.


Giat Berdakwah

Napas atau semangat islam tampaknya tidak bisa dilepaskan dari pribadi Sudirman. Hal ini tidak lepas dari keaktifannya dalam organisasi Muhammadiyah. Sebagaimana misi gerakan ini, amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan orang untuk berbuat baik dan mencegah orang kepada kemungkaran) hal ini juga melekat dalam dirinya.


Bagi pak Dirman, peradaban Islam akan maju dan bangkit apabila umatnya mau memahami langsung dari dua sumber utamanya yaitu: al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. maka dari itu dalam berdakwah Pak Dirman lebih menitikberatkan pada ajaran tauhid, kesadaran beragama dan kesadaran berbangsa. Hal ini dilakukan untuk memberantas TBC (Takhayul, Bid’ah dan khurafat) yang sangat bertentangan dengan ajaran tauhid Islam. Jenderal Sudirman memaki pendekatan kultural dalam aktivitas dakwahnya. Ia menyesuaikan dakwahnya dengan kondisi dan tingkat pemahaman masyarakatnya.


Selain itu jenderal Sudirman juga tokoh yang sangat menanamkan semangat untuk berjihad kepada para anggotanya. Bahkan, ketika saat memimpin HW beliau sudah menanamkan prinsip “hidup mulia atau mati syahid” kepada bawahannya. Beliau juga orang yang sangat cinta kepada Rasulullah saw, makanya beliau selalu membawa buku Tarikh Rasulullah saw karya Moenawar Cholil, bahkan ketika dalam kondisi berperang sekalipun.


Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.


Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.


Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.


Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.


Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.


Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.


Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

0 komentar: