Sumatera memang terkenal sebagai penghasil pejuang dan ulama. Seorang ulama besar yang pernah dilahirkah di wilayah ini ialah seorang yang bernama Hasbi Ash Shiddieqy.
Nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Ia dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada tanggal 10 Maret 1904 di tengah keluarga pejabat.
Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu
Cukup banyak karya tulis yang telah dihasilkannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul). Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.
Seperti halnya ulama lain, Hasbi ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT., ini kemudian dipahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendiri mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang tidak membedakan antara syariat yang langsung berasal dari Allah SWT, dan fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syariat tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa umat Islam
Menurutnya, hukum fiqh yang dianut oleh masyarakat Islam
Untuk usaha ini, ulama harus mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, karena ijtihad adalah suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan dari masa ke masa. Menurutnya, untuk menuju fiqh Islam yang berwawasan ke Indonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan.
Pertama, ia adalah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual diakui oleh dunia internasional. Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di
Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka "angker". Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di
Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian ulama
0 komentar:
Posting Komentar