Pages

Kamis, 22 Juli 2010

Hasbi Ash Shiddieqy

Sumatera memang terkenal sebagai penghasil pejuang dan ulama. Seorang ulama besar yang pernah dilahirkah di wilayah ini ialah seorang yang bernama Hasbi Ash Shiddieqy.


Nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Ia dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada tanggal 10 Maret 1904 di tengah keluarga pejabat. Ada beberapa hal yang menarik pada dirinya. Pertama, ia adalah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah. Dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926).


Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga, setelah kembali ke Aceh. Hasbi ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.


Cukup banyak karya tulis yang telah dihasilkannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul). Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.


Seperti halnya ulama lain, Hasbi ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT., ini kemudian dipahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendiri mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad Hanbal.


Akan tetapi menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang tidak membedakan antara syariat yang langsung berasal dari Allah SWT, dan fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syariat tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa umat Islam Indonesia cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku absolut. Akibatnya, kitab-kitab fiqh yang ditulis imam-imam mazhab dipandang sebagai sumber syariat, walaupun terkadang relevansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad mereka tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkungan geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat kita sekarang.


Menurutnya, hukum fiqh yang dianut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mereka cenderung memaksakan keberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut. Sebagai alternatif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan kembali fiqh Islam yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus dapat menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang sosiokultur dan religi masyarakat Indonesia. Namun begitu, hasil ijtihad ulama masa lalu bukan berarti harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, pendapat ulama dari mazhab manapun, asal sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia, dapat diterima dan diterapkan.


Untuk usaha ini, ulama harus mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, karena ijtihad adalah suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan dari masa ke masa. Menurutnya, untuk menuju fiqh Islam yang berwawasan ke Indonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan.


Ada beberapa sisi menarik pada diri Muhammad Hasbi, antara lain:


Pertama, ia adalah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual diakui oleh dunia internasional. Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan (1958). Selain itu, berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah.


Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka "angker". Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.


Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia.


Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian ulama Indonesia. Mereka angkat bicara menentang fiqh (hukum in concreto) di-Indonesia-kan atau dilokalkan. Bagi mereka, fiqh dan syariat (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Kini setelah berlalu tigapuluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang menyatakan masyarakat muslim Indonesia memerlukan "fiqh Indonesia" terdengar kembali. Namun sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya. Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi tegaknya kebenaran sejarah.

0 komentar: