Pages

Senin, 02 November 2009

Mens Sana In Corpore Sano

Masih ingat dengan pepatah romawi, Men sana in corpore sano? Pastinya kita masih ingat. Di Sekolah Dasar dulu dalam mata pelajaran Penjaskes pepatah ini sering keluar dalam soal-soal ulangan. Pepatah ini berarti dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat.

Namun, benarkah pepatah ini masih relevan pada saat ini? Terlebih kalau kita kaitkan dengan dunia olahraga atau mereka yang sering melakukan olahraga. Sejatinya bila merujuk pepatah ini, mereka yang gemar berolahraga pastinya selaih memiliki tubuh yang kuat dan sehat juga memiliki sikap jiwa dan mental yang sehat pula.



Sayangnya, dalam pengamatan dan dunia nyata, pepatah ini sudah sangat tidak relevan. Banyak orang yang berolahraga, karenanya ia berbadan sehat dan kuat tetapi sayangnya memiliki sikap jiwa yang rusak, busuk, amoral dan lainnya.

Betapa tidak dalam dunia olahrga kini hal-hal seperti doping, pemalsuan umur, suap-menyuap dan segala sifat buruk lainnya sudah sangat susah dipisahkan. Sifat-sifat itu sudah melebur hingga bisa dibilang hal yang biasa dan lumrah. Di dalam negeri saja, kericuhan antar pemain sepakbola, yang seharusnya mereka bisa menerima apapun hasil yang didapat, telah menjadi hal lumrah yang kadang dicari oleh penonton itu sendiri. Wasit sudah tidak mendapat tempat sebagai sang pengadil. Mereka dilecehkan. Sebaliknya terkadang wasit juga menjadi satu bagian dari konspirasi pertandingan. Bukti bahwa insan-insan olahraga telah kehilangan jiwa yang sehat.

Yang parah adalah ketika sarana-sarana olahraga dijadikan tempat oleh para pejabat, politisi maupun mereka yang memegang kekuasaan sebagai tempat meloby dan menciptakan kebijakan-kebijakan aneh. Sudah tidak asing kalau para pejabat bermain tenis dan golf, maka besoknya ada kebijakan-kebijakan aneh.

Sportivitas kini telah hilang berganti dengan teror, intrik dan segala macam taktik curang lainnya. Hasil sudah menjadi tujuan semata tanpa mau melihat prosesnya. Etika fair play telah memudar dan hilang. Inilah efek dimana sang pemenang akan dipuja sedang mereka yang kalah (walau telah berusaha) selalu dianggap sebagai pecundang.

Inilah dunia era modern dimana kesuksesan dan kemenangan telah menjadi berhala baru. Padahal agama manapun menolak kemenangan sebagai berhala. Disaat inilah apa yang pernah dikatakan Pieree de Coubertin, tokoh dalam Olimpiade 1896, “Yang paling penting dalam Olympiade bukanlah untuk menang. Melainkan untuk mengambil bagian” patut untuk kembali direnungkan.

0 komentar: