Bagi yang suka kongkow di daerah Blok M, pastinya tahu dengan jalan Sisingamaraja. Nah, tepat di ujung masuk jalan ini dari arah Blok M, disebelah kanannya ada sebuah masjid yang berdiri kokoh. Masjid itu bernama Masjid Agung Al-Azhar. Pastinya kita sudah nggak asing lagi, iya
Usut punya usut, ternyata orang dibalik pembangunan masjid tersebut adalah Buya Hamka. Nama lengkapnya Haji Malik Abdul Karim Amrullah, yang kemudian disingkat menjadi Hamka. Ia adalah seorang ulama besar yang dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908.
Orang tuanya merupakan seorang ulama besar di daerahnya. Bisa jadi hal ini pula yang menurun kepada Hamka muda. Dibawah bimbingan sang ayah pula, Hamka mendapatkan pelajaran pertamanya tentang Islam.
Pada Februari 1927, tokoh kita ini berangkat ke Mekkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, keberangkatannya juga diniatkan untuk menuntut ilmu. Makanya, setelah selesai beribadah ia nggak langsung pulang, tapi menetap selama setengah tahun disana. Untuk menghidupi kehidupan sehari-hari, ia bekerja pada sebuah percetakan. Ini membuktikan bahwa Hamka selain cerdas juga seorang yang siap untuk bekerja keras.
Buya Hamka adalah seorang ulama yang memiliki izzah, tegas dalam akidah dan toleran dalam masalah khilafiyah. Walaupun beliau dari Muhammadiyah yang fikihnya tidak ada do’a qunut dalam shalat subuh, namun tatkala ia mengimami mereka yang dari Nadhlatul Ulama ia memakai doa Qunut dalam shalat subuhnya. Baginya masalah khilafiyah dan perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang harus dibesarkan.
Mengenai akidah beliau tidak pernah tawar-menawar. Ketika marak terjadi kegiatan
Buya Hamka sangat peduli terhadap urusan umat Islam. Sehingga tidak mengherankan, di dalam dakwahnya, baik berupa tulisan maupun lisan, ceramah, pidato atau khutbah selalu menekankan tentang ukhuwah islamiyah, menghindari perpecahan dan mengingatkan umat untuk peduli terhadap urusan kaum muslimin.
Da’i, Penulis dan Sastrawan
Buya Hamka terkenal khas dalam setiap tulisannya. Unsur sastra sangat kental dalam setiap karyanya. Ini memang tidak terlepas dari perhatiannya dalam dunia sastra. Saking seriusnya dalam dunia sastra, Hamka, ketika berkunjung ke Mesir menyempatkan diri bertemu dengan sastrawan kondang Mesir seperti, Husein dan Fikri Abadah. Mereka saling berdiskusi dan bertukar pikiran dalam bidang sastra juga dalam bidang dakwah islamiyah.
Tidak hanya sekedar gemar dan suka akan karya-karya sastra, Hamka, juga membuktikan kualitasnya dalam dunia sastra. Dari tangannya lahir sejumlah karya sastra jempolan. Seperti, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van Der Wick, Merantau ke Deli, Di dalam Lembah Kehidupan, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.
Hampir seluruh karya sastranya menggambarkan kehidupan masyarakat pada masanya. Tenggelamnya Kapal van De Wick di tulisnya untuk menggambarkan perseteruan yang terjadi antara adat dan agama. Tatkala kehidupan modernisme dan hedonisme tengah menggejala ia menulis Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Dimana saja dan kapan saja ia sempatkan untuk menulis. Termasuk ketika ia dipenjara. Kesempatan itu malah ia manfaatkan sebaik-baiknya untuk menulis karya terbesarnya, Tafsir Qur’an yang diberi nama Al-Azhar. Ditempat inilah karyanya tersebut diselesaikan. “Andaikata saya tidak dipenjara mungkin tafsir ini tidak akan selesai,” begitu ujarnya, seolah-olah mensyukuri pemenjaraan yang dilakukan terhadap dirinya.
Oh ya, tahu gak mengapa tafsir ini dinamakan dengan Al-Azhar? Karena dari situlah bermula ide untuk memberikan pelajaran tentang tafsir Qur’an. Selain itu, nama Al-Azhar juga berkesan baginya, karena ia memperoleh gelar dokter honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo.
Karya tulisnya cukup banyak dan hampir semuanya menjadi karya emas beliau. Tulisan-tulisannya selalu membuat warna baru atau setidaknya memberikan paradigma baru tentang sesuatu yang banyak disalahpahami oleh masyarakat. Salah satunya nih ada buku yang berjudul Tasawuf Modern.
Dalam buku ini, Hamka mengkritisi aliran-aliran tasawuf yang ‘anti’ terhadap kehidupan dunia, seolah-olah ilmu tasawuf itu hanya ada dalam lubang-lubang gua yang sempit. Hal inilah yang diluruskan oleh Hamka dalam buku Tasawuf Modern. Baginya, seorang muslim sejati bukanlah mereka yang melarikan diri dari dunia, tetapi terjun langsung didalamnya. Buku ini sangat bagus untuk dibaca oleh segala usia. Bahasanya segar dan ringan. Makanya nggak salah kalau buku ini masih laris dipasaran sampai sekarang.
Selain menuangkan gagasannya kedalam bentuk buku, Hamka juga banyak menulis artikel-artikel pada majalah dan Koran. Salah satu majalah yang sering memuat tulisannya adalah Panji Masyarakat, selain menjadi penulis di majalah ini Hamka juga menjadi pemimpin redaksinya.
Sikap Negarawan Hamka
Selain terkenal sebagai seorang ulama yang tegas dan teguh dalam setiap tindakan, Hamka juga dikenal sebagai seorang yang egaliter. Dia tidak pernah menyimpan dendam pada orang-orang yang telah mendzhaliminya.
Ini terbukti ketika Hamka mau menjadi imam shalat jenazah presiden RI pertama, Soekarno. Padahal sejarah mencatat, Soekarno dan Hamka sering memiliki perbedaan pendapat yang tajam, hingga menyebabkan Hamka digiring kedalam sel.
Tetapi hal itu tidak membuatnya dendam dan merasa berhak untuk membenci seseorang. Baginya perbedaan pandangan bukan berarti harus terputusnya silaturahmi. Makanya gak bakal deh kamu temukan karya beliau yang menyudutkan bung Karno secara pribadi.
Doktor Tanpa Kuliah
Hamka juga tokoh yang unik. Walaupun ia tidak pernah menapak bangku perguruan tinggi, tetapi berkat jasanya dalam pengembangan dakwah Islam, ia mendapatkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Dalam pengukuhannya di Al-Azhar, Hamka memberikan pidato yang berjudul ‘Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia’. Isi pidatonya ini menjelaskan tentang gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang menginspirasi munculnya gerakan-gerakan seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam.
Selain dari Universitas Al-Azhar, beliau juga menerima gelar doktor luar biasa dari University
Pandai Berargumen
Selain terkenal dengan
Kisah ini bisa dimaknai, bahwa seseorang itu akan selalu mencari sesuai dengan apa yang menjadi orientasinya. Apabila dirinya dipenuhi dengan orientasi maksiat, maka ia akan selalu menemuinya walau itu di tanah suci sekalipun. Begitu pula sebaliknya, bila orientasi seseorang itu selalu dipenuhi kebaikan, maka walau di
Begitu juga ketika dihembuskan opini tentang cerdas dan pintarnya orang-orang Yahudi
“Sebab yang utama bukan itu, Yang terang ialah karena orang Arab khususnya dan Islam umumnya telah lama meninggalkan senjata batinnya yang jadi sumber dari kekuatannya. Orang–orang yang berperang menangkis serangan
Hamka termasuk seorang ulama yang sangat peduli dengan sejarah Islam di Indonesia. Dalam acara Seminar ‘Sejarah Masuknya Islam ke
Dalam forum tersebut, Hamka menegaskan kembali pendapatnya sejak tahun 1958, bahwa Islam yang masuk ke
Hamka menyimpulkan, Islam telah berangsur masuk ke
Buya Hamka adalah sosok ulama yang sangat dicintai oleh masyarakatnya. Tidak hanya masyarakat
Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Seluruh
0 komentar:
Posting Komentar