Pages

Kamis, 22 Juli 2010

Buya Hamka

Bagi yang suka kongkow di daerah Blok M, pastinya tahu dengan jalan Sisingamaraja. Nah, tepat di ujung masuk jalan ini dari arah Blok M, disebelah kanannya ada sebuah masjid yang berdiri kokoh. Masjid itu bernama Masjid Agung Al-Azhar. Pastinya kita sudah nggak asing lagi, iya kan? Tapi tahu gak sih siapa orang dibalik layar pembangunan masjid yang sekarang sudah menjadi pusat pendidikan Al-Azhar?


Usut punya usut, ternyata orang dibalik pembangunan masjid tersebut adalah Buya Hamka. Nama lengkapnya Haji Malik Abdul Karim Amrullah, yang kemudian disingkat menjadi Hamka. Ia adalah seorang ulama besar yang dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908.


Orang tuanya merupakan seorang ulama besar di daerahnya. Bisa jadi hal ini pula yang menurun kepada Hamka muda. Dibawah bimbingan sang ayah pula, Hamka mendapatkan pelajaran pertamanya tentang Islam.


Pada Februari 1927, tokoh kita ini berangkat ke Mekkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, keberangkatannya juga diniatkan untuk menuntut ilmu. Makanya, setelah selesai beribadah ia nggak langsung pulang, tapi menetap selama setengah tahun disana. Untuk menghidupi kehidupan sehari-hari, ia bekerja pada sebuah percetakan. Ini membuktikan bahwa Hamka selain cerdas juga seorang yang siap untuk bekerja keras.


Buya Hamka adalah seorang ulama yang memiliki izzah, tegas dalam akidah dan toleran dalam masalah khilafiyah. Walaupun beliau dari Muhammadiyah yang fikihnya tidak ada do’a qunut dalam shalat subuh, namun tatkala ia mengimami mereka yang dari Nadhlatul Ulama ia memakai doa Qunut dalam shalat subuhnya. Baginya masalah khilafiyah dan perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang harus dibesarkan.


Mengenai akidah beliau tidak pernah tawar-menawar. Ketika marak terjadi kegiatan Natal bersama, ia membuat fatwa yang mengharamkan kegiatan tersebut. Ketika ia dipaksa untuk mencabut fatwa tersebut, ia menolaknya. Ia lebih memilih mundur dari jabatannya sebagai ketua MUI pada saat itu, daripada harus mencabut fatwa yang telah dibuatnya.


Buya Hamka sangat peduli terhadap urusan umat Islam. Sehingga tidak mengherankan, di dalam dakwahnya, baik berupa tulisan maupun lisan, ceramah, pidato atau khutbah selalu menekankan tentang ukhuwah islamiyah, menghindari perpecahan dan mengingatkan umat untuk peduli terhadap urusan kaum muslimin.


Da’i, Penulis dan Sastrawan

Buya Hamka terkenal khas dalam setiap tulisannya. Unsur sastra sangat kental dalam setiap karyanya. Ini memang tidak terlepas dari perhatiannya dalam dunia sastra. Saking seriusnya dalam dunia sastra, Hamka, ketika berkunjung ke Mesir menyempatkan diri bertemu dengan sastrawan kondang Mesir seperti, Husein dan Fikri Abadah. Mereka saling berdiskusi dan bertukar pikiran dalam bidang sastra juga dalam bidang dakwah islamiyah.


Tidak hanya sekedar gemar dan suka akan karya-karya sastra, Hamka, juga membuktikan kualitasnya dalam dunia sastra. Dari tangannya lahir sejumlah karya sastra jempolan. Seperti, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van Der Wick, Merantau ke Deli, Di dalam Lembah Kehidupan, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.


Hampir seluruh karya sastranya menggambarkan kehidupan masyarakat pada masanya. Tenggelamnya Kapal van De Wick di tulisnya untuk menggambarkan perseteruan yang terjadi antara adat dan agama. Tatkala kehidupan modernisme dan hedonisme tengah menggejala ia menulis Di Bawah Lindungan Ka’bah.


Dimana saja dan kapan saja ia sempatkan untuk menulis. Termasuk ketika ia dipenjara. Kesempatan itu malah ia manfaatkan sebaik-baiknya untuk menulis karya terbesarnya, Tafsir Qur’an yang diberi nama Al-Azhar. Ditempat inilah karyanya tersebut diselesaikan. “Andaikata saya tidak dipenjara mungkin tafsir ini tidak akan selesai,” begitu ujarnya, seolah-olah mensyukuri pemenjaraan yang dilakukan terhadap dirinya.


Oh ya, tahu gak mengapa tafsir ini dinamakan dengan Al-Azhar? Karena dari situlah bermula ide untuk memberikan pelajaran tentang tafsir Qur’an. Selain itu, nama Al-Azhar juga berkesan baginya, karena ia memperoleh gelar dokter honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo.


Karya tulisnya cukup banyak dan hampir semuanya menjadi karya emas beliau. Tulisan-tulisannya selalu membuat warna baru atau setidaknya memberikan paradigma baru tentang sesuatu yang banyak disalahpahami oleh masyarakat. Salah satunya nih ada buku yang berjudul Tasawuf Modern.


Dalam buku ini, Hamka mengkritisi aliran-aliran tasawuf yang ‘anti’ terhadap kehidupan dunia, seolah-olah ilmu tasawuf itu hanya ada dalam lubang-lubang gua yang sempit. Hal inilah yang diluruskan oleh Hamka dalam buku Tasawuf Modern. Baginya, seorang muslim sejati bukanlah mereka yang melarikan diri dari dunia, tetapi terjun langsung didalamnya. Buku ini sangat bagus untuk dibaca oleh segala usia. Bahasanya segar dan ringan. Makanya nggak salah kalau buku ini masih laris dipasaran sampai sekarang.


Selain menuangkan gagasannya kedalam bentuk buku, Hamka juga banyak menulis artikel-artikel pada majalah dan Koran. Salah satu majalah yang sering memuat tulisannya adalah Panji Masyarakat, selain menjadi penulis di majalah ini Hamka juga menjadi pemimpin redaksinya.


Sikap Negarawan Hamka

Selain terkenal sebagai seorang ulama yang tegas dan teguh dalam setiap tindakan, Hamka juga dikenal sebagai seorang yang egaliter. Dia tidak pernah menyimpan dendam pada orang-orang yang telah mendzhaliminya.


Ini terbukti ketika Hamka mau menjadi imam shalat jenazah presiden RI pertama, Soekarno. Padahal sejarah mencatat, Soekarno dan Hamka sering memiliki perbedaan pendapat yang tajam, hingga menyebabkan Hamka digiring kedalam sel.


Tetapi hal itu tidak membuatnya dendam dan merasa berhak untuk membenci seseorang. Baginya perbedaan pandangan bukan berarti harus terputusnya silaturahmi. Makanya gak bakal deh kamu temukan karya beliau yang menyudutkan bung Karno secara pribadi.


Doktor Tanpa Kuliah

Hamka juga tokoh yang unik. Walaupun ia tidak pernah menapak bangku perguruan tinggi, tetapi berkat jasanya dalam pengembangan dakwah Islam, ia mendapatkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Dalam pengukuhannya di Al-Azhar, Hamka memberikan pidato yang berjudul ‘Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia’. Isi pidatonya ini menjelaskan tentang gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang menginspirasi munculnya gerakan-gerakan seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam.


Selain dari Universitas Al-Azhar, beliau juga menerima gelar doktor luar biasa dari University Kebangsaan, Malaysia. Yang hebatnya, gelar ini diberikan langsung oleh Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak. Suatu penghormatan yang luar biasa bagi seorang ulama bernama Buya Hamka.


Pandai Berargumen

Selain terkenal dengan gaya sastranya, Buya Hamka juga terkenal dalam kepandaiannya berargumen. Suatu ketika dalam pengajiannya Buya ditanya oleh seorang muridnya, “Saya pernah pergi haji ke Mekkah, ternyata disana ada pelacur. Saya heran, bagaimana mungkin di Mekkah yang suci ada pelacur.” Lalu apa jawab Buya Hamka? Dengan kalemnya ia berkata, “Saya pernah beberapa kali berkunjung ke California. Tetapi disana saya tidak menemui satu pelacur pun”.


Kisah ini bisa dimaknai, bahwa seseorang itu akan selalu mencari sesuai dengan apa yang menjadi orientasinya. Apabila dirinya dipenuhi dengan orientasi maksiat, maka ia akan selalu menemuinya walau itu di tanah suci sekalipun. Begitu pula sebaliknya, bila orientasi seseorang itu selalu dipenuhi kebaikan, maka walau di California yang pusatnya kebebasan pun ia tidak akan menemui kemaksiatan.


Begitu juga ketika dihembuskan opini tentang cerdas dan pintarnya orang-orang Yahudi Israel, sehingga dapat mengalahkan pasukan Arab dalam perang Arab-Israel. Maka Buya meluruskan pemahaman tersebut melalui tulisan beliau di dalam Tafsir Al-Azhar, Juz’ 1, halaman 221:


“Sebab yang utama bukan itu, Yang terang ialah karena orang Arab khususnya dan Islam umumnya telah lama meninggalkan senjata batinnya yang jadi sumber dari kekuatannya. Orang–orang yang berperang menangkis serangan Israel atau ingin merebut Palestina sebelum tahun 1967 itu, tidak lagi menyebut-nyebut Islam. Islam telah mereka tukar dengan Nasionalisme Jahiliyah, atau Sosialisme ilmiah ala Marx. Bagaimana akan menang orang Arab yang sumber kekuatannya ialah imannya, lalu meninggalkan iman itu, malahan barangsiapa yang masih mempertahankan idiologi Islam, dituduh Reaksioner. Nama Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pembangun dari bangsa Arab telah lama ditinggalkan, lalu ditonjolkan Karl Marx, seorang Yahudi. Jadi untuk melawan Yahudi mereka buangkan pemimpin mereka sendiri, dan mereka kemukakan pemimpin Yahudi. Dalam pada itu kesatuan akidah kaum Muslimin telah dikucar-kacirkan oleh ideologi-ideologi lain, terutama mementingkan bangsa sendiri. Sehingga dengan tidak bertimbang rasa, di Indonesia sendiri, di saat orang Arab sedang bersedih karena kekalahan, Negara Republik Indonesia yang penduduknya 90% pemeluk Islam, tidaklah mengirimkan utusan pemerintah buat mengobati hati negara-negara itu, melainkan mengundang Kaisar Haile Selassie, seorang Kaisar Kristen yang berjuang dengan gigihnya menghapus Islam dari negaranya. Ahli–ahli Fikir Islam modern telah sampai kepada kesimpulan bahwasanya Palestina dan Tanah Suci Baitul Maqdis, tidaklah akan dapat diambil kembali dari rampasan Yahudi (Zionis) itu, sebelum orang Arab khususnya dan orang–orang Islam seluruh dunia umumnya, mengembalikan pangkalan fikirannya kepada Islam. Sebab, baik Yahudi dengan Zionisnya, atau negara-negara Kapitalis dengan Christianismenya, yang membantu dengan moril dan materil berdirinya Negara Israel itu, keduanya bergabung jadi satu melanjutkan Perang Salib secara modern, bukan untuk menentang Arab karena dia Arab, melainkan menentang Arab karena dia Islam”.


Hamka termasuk seorang ulama yang sangat peduli dengan sejarah Islam di Indonesia. Dalam acara Seminar ‘Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia’ di Medan pada 17-20 Maret 1963, Hamka membawakan makalah yang berjudul ‘Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di daerah Pesisir Sumatera Utara’.


Dalam forum tersebut, Hamka menegaskan kembali pendapatnya sejak tahun 1958, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia diterima langsung dari Mekkah. Hamka menolak pendapat Snouck Hurgronje bahwa Islam yang di bawa ke Indonesia adalah tidak asli dari Mekkah, melainkan Islam yang dari Gujarat atau Malabar. Hamka membantah pandangan yang mengecilkan peran orang-orang Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia dan juga kesan bahwa Islam di Indonesia tidak asli lagi, melainkan Islam yang lebih dekat kepada syiah atau tradisi mistik India.


Hamka menyimpulkan, Islam telah berangsur masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi. Juga, simpul Hamka, orang-orang Indonesia sejak abad pertama Hijriah telah menggali ajaran Islam yang berintikan mazhab Syafii.


Buya Hamka adalah sosok ulama yang sangat dicintai oleh masyarakatnya. Tidak hanya masyarakat Indonesia yang merasakan manfaat dari sosok yang satu ini. Tidak jarang ceramahnya juga ditunggu-tunggu oleh muslim dari negeri tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Saking besar pengaruhnya, PM Malaysia Tun Abdul Razak berkata, “Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tapi juga kebanggaan bangsa-bangsa di Asia Tenggara.”


Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Seluruh Indonesia sangat merasa kehilangan ulama yang pantas dijadikan panutan. Dikisahkan, ketika Hamka meninggal, jenazah yang disemayamkan di Masjid Al-Azhar harus dishalatkan puluhan kali karena meluapnya massa yang ingin bertakziyah. Ini adalah bukti ketika seorang ulama mampu membumi dan merakyat.

0 komentar: