Pages

Kamis, 22 Juli 2010

Syeikh Yusuf Al-Maqasari

Saya melangkah masuk dan tertegun melihat makam berpagar besi ukir, bertutup kain hijau. Di sini berkubur pada usia 73, seorang ilmuwan, sufi, pengarang, dan komandan pertempuran abad ke-17, sesudah 16 tahun menjalani pembuangan. Kampung halamannya terletak di seberang dua samudra, berjarak 12 ribu kilometer jauhnya. Saya tertunduk dan menggumamkan Al Fatihah untuk pejuang besar ini. Beliaulah Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani. “


Kata-kata indah diatas keluar dari mulut Taufik Ismail, seorang penyair besar Indonesia, ketika menggambarkan Syeikh Yusuf al-Maqasari. Pada tahun 2005 yang lalu, Syekh Yusuf dianugerahi penghargaan Oliver Thambo, yaitu penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan. Penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, kepada tiga ahli warisnya. Dua di antaranya adalah Andi Makmun, keturunan kesembilan Syekh Yusuf dan Syachib Sulton, keturunan kesepuluh.


Tetapi jangan salah dulu loh Syeikh Yusuf itu bukanlah orang asli Afrika Selatan. Ia adalah warga asli Indonesia. Lo kok bisa orang Indonesia dapat gelar pahlawan dari negara Afrika Selatan? Pastinya kita semua heran. Sebelum kita heran, yuk kita ikuti sedikit kisah perjalanan Syeikh Yusuf. Oh ya, sebelum terlupa, selain syeikh Yususf, presiden Soekarno juga pernah mendapat gelar serupa, karena dianggap telah berjasa atas kemerdekaan Afrika Selatan.


Kembali kepada Syeikh Yusuf. Syekh Yusuf dilahirkan di Makassar dengan nama kecil Muhammad Yusuf pada tahun 1626 Masehi dalam Kerajaan Gowa. Ada dua versi nama ayah Syekh Yusuf. yaitu Abdullah, versi Hamka. Sementara berdasarkan Lontarak RTSG versi Tallo, disebutkan ayah Syekh Yusuf adalah Gallarang MoncongloE. Sementara ibunya bernama Aminah.


Memang sejarah syeikh yusuf itu penuh dengan misteri dan kontroversi. Hingga-hingga dimana makamnya, antara cape town dan Indonesia masih menjadi perselisihan ahli sejarah. Tetapi walaupun begitu, kalangan ilmuwan muslim sepakat, bahwa Syeikh Yusuf adalah seorang dai pembaharu yang sangat teguh dalam memegang prinsip. Beliau juga ulama yang merintis terbentuknya jaringan ulama di nusantara.


Syeikh Yusuf terlahir dari kalangan petani biasa. Sejak kecil beliau sudah mampu mengkhatamkan Al Quran. Ia kemudian mendalami ilmu fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Pada usia19 tahun, ia ikut kapal Portugis berlayar ke Mekah, melalui Banten, Aceh, dan Yaman. Di Aceh berguru pada Syekh Nuruddin ar-Raniri sampai memperoleh ijazah Tarekat Qadiriah. Di Yaman, mendapatkan ijazah Tarekat Naqsyabandiah dan Tarekat Ba’lawiyah dari Syekh Abdullah Muhammad Abdul Baqi’ dan Sayid Ali Zubaidi. Setelah selesai menunaikan haji di Mekah, dia pergi ke Madinah. Di sana berguru kepada Syekh Burhanuddin al-Milah sampai mendapat ijazah Tarekat Syattariah. Tidak puas, ia memenuhi “rasa hausnya” ke negeri Syam. Di sanalah dia mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah dari gurunya, Syekh Abul Barkah Ayyub. Sepulang ke tanah air, ia berdakwah di Sulawesi, lalu menetap di Banten.


Di Banten, ia menjadi guru, mufti, menantu, sekaligus panglima perang Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda. Ketika Sultan ditangkap, dia bergerilya di hutan dan bertempur bersama kesultanan Cirebon sampai akhirnya tertawan dan di penjara di Batavia.Selain dengan pedang, Syekh Yusuf juga berjuang dengan pena. Sampai meninggalnya di tahun 1699, dia telah menulis 20 kitab berbahasa Arab, di antaranya yang terkenal adalah Safinat an-Naja’, yang sampai sekarang dibaca di seluruh pesantren.

0 komentar: