Teror adalah sebuah aktivitas menyebarkan rasa takut kepada orang lain, pelakunya disebut teroris. Istilah ini mulanya tidak berkonotasi apapun, tidak negatif tidak pula positif, kecuali setelah melihat konteksnya. Misalnya seorang penjahat akan merasa ketakutan apabila melihat polisi, karena polisi akan menangkapnya, menjebloskannya ke penjara, dan menghukumnya. Si penjahat ini merasa diteror oleh polisi. Maka dalam hal ini si polisi adalah teroris, teroris yang positif.
Berbicara masalah terror, kini di negeri ini ada teror dari yang namanya tabung gas. Alih-alih memudahkan urusan dapur, tabung gas kini menjelma menjadi teror menakutkan. Ledakan demi ledakan yang terjadi membuat warga waswas dan sangat khawatir.
Sejak tahun 2008, pemerintah mencanangkan proyek pengadaan tabung gas ukuran 3 kg sebagai pengganti minyak tanah. Niat awal pemerintah memang mulia; ingin menyejajarkan semua rakyat dengan orang mapan, yang sudah lama menikmati gas di rumahnya.
Namun, proyek terburu-buru itu keburu meluncur. Yang terjadi kemudian, karena diproduksi secara massal, so pasti banyak yang tidak beresnya. Mana mungkin pengelola Standar Nasional Indonesia (SNI) mampu mengecek satu per satu tabung gas yang jumlahnya ribuan. Yang penting barang jadi sesuai pesanan negara dan kita tunggu dampak dari "bom" munggil warna hijau itu.
Kini, tabung gas itu jadi teror baru, menjadi headline media massa, menjadi topik panas, bersaing dengan berita koruptor, pejabat cabul, artis cabul, gerakan teroris, dan pemilu kepala daerah.
Teror tabung gas bukan main-main. Ini serius sebab menyangkut hak hidup rakyat banyak. Kalau tak becus mengurus tabung gas saja, bagaimana mengelola negara? Aparat kepolisian wajib membongkar pelaku pembuat regulator, selang, dan elemen palsu lainnya sampai pemodal dan mungkin pengelola SNI. Jangan-jangan ada markus di lembaga SNI?
Teror lain yang sedang marak menjadi berita dan omongan baik di dunia maya dan nyata adalah perilaku paspampres yang semena-mena. Seorang warga bernama Hendra NS, mengeluhkan rombongan presiden SBY yang sering bertindak semena-mena, terhadap pengguna jalannya.
Dalam surat pembaca yang diterbitkan harian Kompas, Hendra menulis,
… kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 WIB di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya. Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar suara sirene dan hardikan lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman.
Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setor ke kiri.
Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, saya pun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan.
Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, “Apa mau Anda saya bedil?”
Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpanan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara. Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya. Saya jelaskan situasi tadi. Amarahnya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti “dari mana sumber suara speaker?”, atau “mestinya kamu ikuti saya saja”, atau “tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri”…
Tidak lama berselang dari kasus ini kembali terjadi peristiwa yang kembali melibatkan pasukan pengamanan presiden, dan lagi-lagi kejadian ini membuat seorang anak mengalami trauma yang cukup dalam.
Dalam peringatan Hari Anak Nasional, Seorang anak ditoyor kepalanya oleh salah seorang anggota Paspampres, karena dianggap akan menghalangi jalan presiden. Insiden terjadi usai pementasan operet Persatuan Artis Cilik, yang juga disaksikan oleh Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi.
Walau tidak menimbulkan korban jiwa apa yang dilakukan oleh pasukan pengamanan presiden bisa menimbulkan teror kepada masyarakat pengguna jalan dan anak-anak. Para pengguna jalan suka khawatir jika sudah mendengar suara sirine mengaung. Lalu akankan terjadi perubahan sikap dari pasukan pengamanan presiden? Kita lihat saja nanti.
Rabu, 28 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar