Pages

Selasa, 03 Agustus 2010

Matinya Hukum

Hakikat dari demokrasi yang beretika adalah demokrasi yang disertai kepastian hukum dan kesamaan hukum. Sebab, demokrasi tanpa adanya kepastian dan ketaatan asas aturan main (rule of the law) akan berbuah menjadi anarki.


Dalam perjalanan pulang dari sawangan menuju Depok, saya berpapasan dengan rombongan ormas betawi yang kabarnya pas hari itu sedang melakukan perayaan ulang tahun. Rombongan ini terdiri dari iring-iringan sepeda motor, bis umum dan kendaraan pribadi.

Bukan rombongannya yang menarik bagi saya, sebab ini rombongan sangat tidak tertata dan tidak enak di lihat mata, masih kebih bagus karnaval kendaraan hias yang di daerah saya ‘suka’ (saya bilang suka karena penyelenggaraannya gak rutin, terkesan semau panitia aja) ada menjelang tanggal 17 agustus.



Tapi yang menarik perhatian saya adalah kelakuan para anggota rombongan atau konvoi yang menggunakan kendaraan sepeda motor. Kelakuan mereka jelas tidak membuat saya ingin bergabung, bahkan sedikit simpati aja nggak. Padahal kalo mereka bilang syiar, seharusnya bisa membuat yang melihat dan dilewati rombongan itu senang dan terhibur, sedangkan ini, saya yakin yang melihat dan di lewati rombongan ini menjadi eneg juga mungkin sambil berdoa rombongan ini segera berlalu dari hadapan mata mereka.

Kelakuan mereka sangat tidak bisa dijadikan contoh ikutan, walau sudah latihan pula. Mereka tidak memakai helm, membawa anak kecil seenaknya aja, asyik menggoyangkan motornya kesana-kemari gak peduli walaui itu sudah bukan jalurnya lagi, membuat bising dengan suara knalpot dan klakson yang di geber dan dimainkan seenaknya aja.
Pertanyaan saya satu. Kok gak ada sanksi bagi mereka? padahal jelas apa yang mereka lakukan sudah melanggar kode etik jalan raya. Padahal di jalan yang mereka lewati itu polisi berjejer yang anehnya malah mengamankan aksi mereka.

Maka pada hari ini saya melihat matinya hukum dan aparat hukum,di depan kelakuan anggota ormas. Semua peraturan dan sangsinya seakan tidak berlaku ketika menghadapi orang banyak dan berseragam.

Kelakuan dan perlakuan seperti ini tidak hanya monopoli ormas saja, tetapi juga para demonstran, supporter sepakbola bahkan iring-iringan jamaah dzikir juga demikian. Bila sudah begini maka bagaimana kita merupakan bangsa yang tegak diatas aturan hukum?

Hukum seharusnya bersifat mutlak. Memang ada kalanya ada kebijaksanaan dari aparat hukum, tapi saya yakin perilaku diatas bukanlah alasan adanya ‘kelonggaran’ hukum.
Memang negara ini menjamin setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul namun, Kebebasan berserikat dan berkumpul yang diatur dalam UUD tidak boleh dimaknai secara kebablasan sehingga kelompok orang atau organisasi masyarakat yang dilindungi UUD itu bisa melakukan tindakan bertindak sewenang-wenang dan bebas melanggar hukum.

Jadi, akan sangat berbahaya jika aksi anarkis yang dilakukan ormas itu dibiarkan karena jika ini terus dibiarkan maka aturan maupun lembaga atau institusi yang formal menjadi tidak berfungsi. Saya yakin semua organisasi memiliki AD/ART yang memenuhi unsure kebaikan, namun masalahnya adalah bagaimana menerapkan apa yang telah diatur dalam AD/ART mereka itu ke lapangan jadi tidak hanya sekedar teks saja.

Yang sedih banyak ormas yang didirikan untuk menjaga dan melindungi hukum dari para pelanggarnya, namuan sayang kegiatan mereka menjaga hukum malah melanggar aturan hukum itu sendiri. Kita sering mendapat petuah sekecil apapun kesalahan berbahaya untuk dibiarkan, karena ia akan membesar. Lalu kini kesalahan yang besar dan oleh orang banyak terjadi di depan mata dan disaksikan oleh aparat hukum dan tanpa penindakan.

Lalu benarkah kata seorang kawan bahwa hukum telah mati di jalan raya?

0 komentar: